Sabtu, 04 Juli 2009

Hakikat Model Belajar kontruktivistik

(Setyo Utoyo)

a. Pengertian Konstruktivistik

Istilah konstruktivistik (constructivism) digunakan dengan berbagai makna dan telah dimulai tahun 1710 oleh "filosof kognitif'. Giambatista Vico menyatakan "seseorang hanya dapat dikatakan mengetahui sesuatu bila seseorang dapat menjelaskannya" (Philip, 1998).[1] Lebih lanjut Philip menyatakan bahwa pembelajar bukan penerima informasi yang pasif, tetapi 'active learner'.

Menurut Piaget dalam Fosnot.[2] konstruktivistik merupakan proses membangun pengetahuan dan pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat secara sosial dalam dialog dan aktif dalam percobaan-percobaan dan pengalaman. Pembentukan makna adalah dialog antar pribadi dalam hal ini pebelajar tidak hanya memerlukan akses pengalaman fisik tetapi juga interaksi dengan pengalaman yang dimiliki oleh individu lain. Pembelajaran yang sifatnya kooperatif (cooperative learning) ini muncul ketika siswa bekerja sama untuk mencapai tujuan belajar yang diinginka oleh siswa. Pengelolaan kelas menurut cooperative learning bertujuan membantu siswa untuk mengembangkan niat dan kiat bekerja sama dan berinteraksi dengan siswa yang lain. Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kelas yaitu: pengelompokan, semangat kooperatif dan penataan kelas.

Sedangkan menurut Vygotsky dalam Fosnot.[3] konstruktivistik adalah penekanan pada hakikat pembelajaran sosiakultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pembelajaran. Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif manusia berasal dari interaksi sosial masing-masing individu dalam konteks budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development mereka. Zona of proximal development adalah daerah antar tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan memecahkan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu.

Sementara pendapat Piaget yang dikutif Suparno mengatakan bahwa konstruktivistik adalah suatu Konstruksi (bentukan) dari kegiatan/tindakan seseorang.[4] Konstruktivistik juga menyatakan bahwa pengetahuan ilmiah itu berevolusi, bersifat sementara, tidak statis, dan merupakan proses; proses konstruksi dan reorganisasi yang terus-menerus; pengetahuan bukanlah sesuatu yang ada di luar, tetapi di dalam diri seseorang yang membentuknya. Dengan demikian, konstruktivistik yang dikemukakan Piaget bersifat personal dan individual yang lebih menekankan pada proses internal.

Konstruktivistik menurut Vigotsky dikutif Suparno adalah suatu pembentukan dan perkembangan pengetahuan anak secara psikologis dengan lebih menekankan pada hubungan dialektik antara individu dan masyarakat, sebagai interaksi sosial dalam hal bahasa dan budaya sebagai proses belajar.[5]

Yager (1992)[6] mengajukan model konstruktivistik yang di dalamnya terdapat cara belajar dan perubahan pembelajaran. Maka konstruktivistik dapat berarti bahwa setiap manusia (pembelajar) menempatkan bersama-sama gagasan dan struktur yang dimaknai oleh seseorang untuk dipelajari. Pengetahuan tidak pernah diobservasi secara independen. Dalam kenyataannya, pengetahuan harus diperoleh dalam personal–sense; tidak dapat ditransfer dari seseorang ke pada orang lain seperti mengisi pembuluh darah, tetapi memerlukan personal commitment untuk menyatakan, menjelaskan, dan menguji penjelasan agar memperoleh kebenaran. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa teori belajar konstruktivistik lebih menekankan pada pembangunan ilmu pengetahuan seseorang dengan rnengacu pada sumber belajar atau sumber ilmu pengetahuan, baik yang berasal dari luar maupun dari dalam diri seseorang yang secara aktif dapat membangun pengetahuan dan menempatkannya dalam konstelasi kognisinya.

Menurut pandangan konstruktivistik, pengetahuan yang dimiliki oleh setiap individu adalah hasil konstruksi secara aktif individu itu sendiri. Individu tidak sekedar meniru dan membentuk bayangan dari pengetahuan yang diamati atau diajarkan oleh guru, tetapi secara aktif menyeleksi, menyaring, memberi arti, dan menguji kebenaran atas informasi yang diterimanya. Pengetahuan yang dikonstruksi siswa merupakan hasil interpretasi siswa itu sendiri terhadap peristiwa atau informasi yang diterimanya. Para pendukung konstruksivistik berpendapat bahwa satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa melainkan siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya.[7]

b. Aplikasi Teori Konstruktivistik Dalam Proses Pembelajaran

Dalam periode dua puluh tahun terakhir ini filsafat konstruktivistik sangatlah mempengaruhi perkembangan penelitian serta praktek pendidikan sains dan matematika di seluruh dunia. Banyak pembaharuan sistem belajar mengajar serta kurikulum sains, matematika, bahasa, dan kebudayaan didasarkan pada konstruktivistik, yang menekankan peran aktif siswa dalam membentuk pengetahuan tersebut.[8]

Dalam dekade terakhir ini workshop menulis dan membaca bahasa Inggris di Amerika Serikat berdasarkan konstruktivistik sosial (Chen,1999, On line, http”//www.Coe,uh.edu/~/izs)[9] telah mencapai puncak keberhasilan dan berkembang dalam lingkungan pendidikan. Teori ini secara mendasar merupakan pembelajaran menulis dan membaca sebagai suatu proses pembelajaran yang berpusat pada siswa dalam kedudukan siswa sebagai individu atau kelompok. Hal ini menitikberatkan pada sifat pembelajaran menulis yang kolaboratif dan sosial. Workshop menulis telah diperbaharui dan diperbaiki sejak awal tahun 1970 awal dengan cara bekerja sama dengan para siswa; membentuk arti melalui membaca dan menulis.

Metode dasar latihan kognitif telah menunjukkan keberhasilan penerapannya pada keterampilan membaca dan menulis. Metode ini membantu siswa untuk menerapkan keterampilan dan pengetahuan yang dimilikinya dalam situasi-situasi yang baru.

Para pendukung konstruktivistik menganjurkan dalam proses pembelajaran agar terbuka peluang terjadinya tawar-menawar intelektual antara siswa dengan guru dan juga antarsiswa sendiri. Pokok-pokok yang dibahas juga sebanyak mungkin dikaitkan dengan pengalaman siswa. Untuk itu, perlu dirancang model pembelajaran yang diawali dengan kegiatan yang merancang siswa untuk mengungkapkan pemahaman mereka mengenai pokok yang akan dibahas.

Konstruktivistik digunakan sebagai acuan untuk membangun kelas yang memaksimalkan siswa belajar,[10] mencari tahu hal-hal yang telah diketahui siswa,[11] memaksimalkan interaksi sosial antar teman agar dapat bernegosiasi makna, dan memperoleh berbagai pengalaman bagaimana cara membangun makna dari temannya.

Mengenai pengaruh kepercayaan guru konstruktivistik terhadap kinerja guru dalam melaksanakan pembelajaran telah dilakukan penelitian oleh beberapa ahli. Misalnya, Hashweh menemukan adanya pengaruh positif kepercayaan guru konstruktivistik terhadap penggunaan strategi efektif yang menyebabkan siswa mengubah konsepnya secara khusus.[12] Loucks-Horsly, dkk. menyebutkan beberapa cara agar belajar ilmu pengetahuan lebih efektif, yaitu pertama, merefleksikan belajar konstruktivistik; kedua, menggunakan interdisipliner; ketiga meliputi asumsi historis dan filsafat secara konteks; keempat, membantu guru menghubungkan sains, teknologi, dan isu sosial; kelima, menggunakan strategi pembelajaran; keenam; mengenalkan pemecahan masalah; dan ketujuh, kolaborasi antara berbagai cabang ilmu dan bidang kajian.[13]

Dengan pandangan itu maka karakteristik, iklim pembelajaran yang sesuai dengan konstruktivistik dapat dijelaskan sebagai berikut.

1) Siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan individu yang memiliki tujuan serta dapat rnerespon situasi pembelajaran berdasarkan konsep awal yang dimilikinya.

2) Guru melibatkan proses aktif dalam pembelajaran yang memungkinkan siswa mengkonstruksi pengetahuannya.

3) Pengetahuan bukanlah sesuatu yang datang dari luar, melainkan melalui seleksi secara personal dan sosial.

lklim pembelajaran tersebut menuntut guru untuk (a) mengetahui dan mempertimbangkan pengetahuan awal siswa; (b) melibatkan siswa dalam kegiatan aktif di kelas, dan (c) memperhatikan interaksi sosial dengan melibatkan siswa dalam diskusi kelas maupun kelompok.

Ada beberapa model pembelajaran yang berdasarkan pada teori konstruktivistik. Menurut Meyers, model-model pembelajaran tersebut di antaranya model siklus belajar (learning-cyde model). Model siklus belajar bertujuan untuk melibatkan siswa dalam mengeksplorasi suatu penelitian atau percobaan atau pengamatan dan masalah-­masalah yang berhubungan dengan suatu bidang ilmu agar menimbulkan rasa ingin tahu sehingga mengarahkan siswa ke arah berpikir abstrak.[14] Model siklus belajar ini terdiri dari tiga (3) fase yaitu fase eksplorasi, pengenalan konsep, dan aplikasi.

1) Eksplorasi

Pada fase ini, siswa secara langsung diberi kesempatan menggunakan pengetahuan awalnya dalam pengobservasian, memahami fenomena lingkungan, dan mengkomunikasikannya pada orang lain. Aspek penting dalam fase ini adalah menciptakan lingkungan belajar yang menuntut siswa untuk menggali pengetahuan dan memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang menantang struktur mental siswa dan daya pikirnya. Pada fase eksplorasi guru lebih berperan sebagai katalisator dan fasilitator

2) Penemuan Konsep

Pada fase ini guru mengontrol langsung pengembangan konsep yang dilakukan oleh siswa dan membantu mengidentifikasi konsep serta hubungan antar konsep yang telah siswa dapatkan. Meyers mengatakan bahwa pada fase ini siswa diarahkan untuk memahami konsep dalam konteks yang bermakna. Guru tidak perlu membuat kesimpulan bagi siswa tetapi siswa dilibatkan dalam pengembangan cara berpikir.

3) Aplikasi Konsep

Pada fase ini siswa melakukan kegiatan menerapkan konsep atau prinsip-­prinsip dalam konteks kehidupan sehari-hari atau disiplin ilmu lain dan selanjutnya menerapkan konsep pada situasi yang baru. Tujuan fase ini adalah untuk mendorong pengembangan daya pikir siswa. Dalam hal ini guru berperan sebagai mentor yaitu guru mendorong dan menguji kemampuan siswa untuk menerapkan konsep dalam situasi baru.[15]



Philips. A, Constructivism in the Classroom, (1998), (on-line) Avalilable, Tersedia: http://dilbert.shawnee.edu/~the money/scool/cons.html

Catherine Twomey Fosnot, Constructivism: Theory, Perspective, and Practice, (New York : Teacher College, Columbia University, 1996)

Suparno, Filsafat Konstruktivistik Dalam Pendidikan, (Yogyakarta, Kanisius, 1999)

Yager, R.E, The Constructivisme Learning Model: a Must STS Classroom the Sattis of Scince Tecnology Sociaty Reform Efforts Around the World, (Lowa: Lowa University, 1992)

[7] Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007)

[9] http”//www.Coe,uh.edu/~/izs(Chen,1999)

Tobin. K, dkk, Reasearch on Instructional Strategies for Teaching Science, dalam Handbook of Reserch on Science Teaching and Learning, (New York: McMillion, 1994), h. 47

Hashweh, M.Z, Effects of Science Teacher’s Epistemological Beliefs in Teaching. (Journal of Research in Science Teaching: The National Association for Research in Science Teaching, John Wiley & Son, Inc, 1996)

Loucks, H. S. et al, Elementary School Science for The’90s, (Massachusetts: Network, Inc, 1990)

Meyers, C. Teaching Student to Think Critically, (San Francisco: Jossey-Bass Inc. Publisher, 1986)